Senin, 15 Juli 2013

AJARAN KI HAJAR DEWANTARA


AJARAN KI HAJAR DEWANTARA
Oleh Yana

Arti dari Ajaran Ki Hajar Dewantara –Tut Wuri Handayani – Salah satu Ajaran dari Ki Hajar Dewantara yang sangat populer adalah “Seorang pemimpin harus memiliki tiga sifat yang terangkum pada: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, dimana ketiga kalimat tersebut memiliki arti sebagai berikut:
1        Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang – orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan.
2. Ing Madyo Mangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat . Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan.
3. Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang – orang disekitar kita menumbuhkan motivasi dan semangat.
Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang – orang disekitarnya dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat . Sehingga kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat.

Implementasi Ajaran Ki Hajar Dewantara Dalam Pembelajaran Matematika Untuk Membangun Karakter Siswa
Ki Hajar Dewantoro adalah salah seorang tokoh pendidikan Nasional yang mendirikan Perguruan Taman Siswa, untuk mendidik rakyat kecil supaya bisa mandiri, tidak tergantung pada penjajah. Beliau bercita-cita agar bangsa Indonesia yang akan datang memiliki kepribadian nasional dan sanggup membangun masyarakat baru yang bermanfaat bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia. Cara mengajar beliau menerapkan metode “among”. Among berarti membimbing anak dengan penuh kecintaan dan mendahulukan kepentingan sang anak. Dengan demikian anak dapat berkembang menurut kodratnya. Hubungan murid dan pamong seperti keluarga. Cara mengajar dan mendidik dengan menggunakan “metode Among” dengan semboyan Tut Wuri Handayani artinya mendorong para anak didik untuk membiasakan diri mencari dan belajar sendiri. Mengemong (anak) berarti membimbing, memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauannya. Guru atau pamong mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, bertugas mengamat amati dengan segala perhatian, pertolongan diberikan apabila dipandang perlu. Anak didik dibiasakan bergantung pada disiplin kebatinannya sendiri, bukan karena paksaan dari luar atau perintah orang lain. Seperti prinsip Ki Hadjar Dewantara bahwa kita tidak perlu segan-segan memasukkan bahan- bahan dan kebudayaan asing, dari manapun asalnya, tetapi harus diingat bahwa dengan bahan itu kita dapat menaikkan derajad hidup kita dengan jalan mengembangkan apa yang sudah menjadi milik kita, memperkaya apa yang belum kita miliki (Soeratman, 1985: 46). Dengan menerapkan ajaran Ki Hajar Dewantoro dalam pembelajaran matematika, diharapkan pembelajaran matematika akan lebih menarik dan tidak lepas dari budaya Indonesia. Guru bisa menanamkan budaya asli Indonesia, membentuk anak didik menjadi manusia yang tangguh dalam menyelesaikan masalah, taat asas, mandiri dan bisa menghargai orang lain. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran mempunyai andil yang cukup besar dalam mempersiapkan anak didik. Salah satu tujuan diberikannya mata pelajaran matematika seperti yang tercantum pada kurikulum adalah siswa dapat memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerjasama, memungkinkan untuk diberi muatan nilai- nilai untuk dapat membangun karakter siswa. Tulisan ini bertujuan untuk mengimplementasikan ajaran Ki Hajar Dewantoro dalam pembelajaran Matematika sehingga terbentuk sumber daya manusia yang berkompeten dan berkarakter, sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia Kata kunci: Ajaran Ki Hajar Dewantoro, Metode Among, Pembelajaran matematika, Penanaman Nilai

Konsep Pendidikan Menurut Ajaran Ki Hadjar Dewantara
Dalam dunia pendidikan, sosok Ki Hadjar Dewatara sebagai Bapak pendidikan bangsaIndonesia ini banyak mengajarkan berbagai hal yang sangat terkenal di bidang pendidikan. Konsep pendidikan nasional yang dikemukakan sangat membumi dan berakar pada budaya nusantara, antara lain tutwuri handayani, “tripusat” pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat), tringgo (ngerti, ngroso, nglakoni) (Tauchid, 2004).

1. Sistem Among, Tutwuri Handayani
Kata among itu sendiri berasal dari bahasa Jawa, mempunyai makna seseorang yang bertugas ngemong dan jiwanya penuh pengabdian. Sistem among sudah dikenal cukup lama di lingkungan Tamansiswa. Sistem among merupakan suatu cara mendidik yang diterapkan dengan maksud mewajibkan kodrat alam anak-anak didiknya. Cara mendidik yang harus diterapkan adalah menyokong atau memberi tuntunan dan menyokong anak-anak tumbuh dan berkembang atas kodratnya sendiri. Sistem among ini meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan berguna bagi masyarakat. Pengajaran bagi Tamansiswa berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang baik dan perlu saja, akan tetapi harus juga mendidik murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang bermanfaat untuk keperluan lahir batin dalam hidup bersama. Tiap-tiap guru, dalam pola pikir Ki Hadjar Dewantara adalah abdi sang anak, abdi murid, bukan penguasa atas
jiwa anak-anak (Sudarto, 2008).
Di lingkungan Tamansiswa sebutan guru tidak digunakan dan diganti dengan sebutan pamong.  Hubungan antara pamong dan siswa, harus dilandasi cinta kasih, saling percaya, jauh dari sifat otoriter dan situasi yang memanjakan. Dalam konsep ini, siswa bukan hanya objek, tetapi juga dalam kurun waktu yang bersamaan sekaligus menjadi subjek. Ki Hadjar Dewantara menjadikan  tutwuri handayani  sebagai semboyan metode among. Sudarto (2008) mengutip pendapat Ki Soeratman yang menyatakan bahwa sikap tutwuri merupakan perilaku pamong yang sifatnya memberi kebebasan kepada siswa untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-norma yang wajar dan tidak merugikan siapa pun.Tetapi kalau pelaksanaan kebebasan siswa itu ternyata menyimpang dari ketentuan yang seharusnya, seperti melanggar peraturan atau hukum masyarakat hingga merugikan pihak lain atau diri sendiri,  pamong  harus bersikap  handayani , yakni mempengaruhi dengan daya kekuatannya, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan, apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri.
Jadi, tutwuri memberi kebebasan pada siswa untuk berbuat sekehendak hatinya, namun jika kebebasan itu akan menimbulkan kerugian pamong harus memberi peringatan. Handayani merupakan sikap yang harus ditaat oleh siswa hingga menimbulkan ketertundukan. Dengan demikian, sebagai subjek siswa memiliki kebebasan, sebagai objek siswa memiliki ketertundukan sebagai kewajibannya.
Ki Hadjar memberi kias sistem among dengan gambaran bahwa guru terhadap murid harus berpikir, berperasaan dan bersikap sebagai Juru Tani terhadap tanaman peliharaannya, bukannya tanaman ditaklukan oleh kemauan dan keinginan Juru Tani. Juru Tani menyerahkan dan mengabdikan dirinya pada kepentingan kesuburan tanamannya itu. Kesuburan tanaman inilah yang menjadi kepentingan Juru Tani. Juru Tani tidak bisa mengubah sifat dan jenis tanaman menjadi tanaman jenis lain yang berbeda dasar sifatnya. Dia hanya bisa memperbaiki dan memperindah jenis dan usaha-usaha yang mendorong perbaikan perkembangan jenis itu. Juru Tani tidak bisa memaksa tanaman padi mempercepat buahnya supaya lekas masak menurut kemauannya karena kepentingan yang mendesak, tapi semua itu harus diikuti dengan kesabaran. Oleh sebab itu, Juru Tani harus tani harus tahu akan sifat dan watak serta jenis tanaman, perbedaan antara padi dan jagung, serta tanaman-tanaman lainnya dalam keperluan masing-masing agar tumbuh berkembang dengan subur dan hasil yang baik. Juru Tani harus faham akan ilmu mengasuh tanaman, untuk dapat bercocok tanam dengan baik, agar dapat menghasilkan tanaman yang subur dan buah yang baik.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, Juru Tani tidak boleh membeda-bedakan dari mana asalnya pupuk, asal alat kelengkapan atau asalnya ilmu pengetahuan dan sebagainya. Namun, harus dimanfaatkan segala yang menyuburkan tanaman menurut kodrat alam. Pamong harus punya karakter seperti Juru Tani ini, tidak membeda-bedakan anak didik, tetapi berusaha menciptakan agar anak-anak didiknya itu tumbuh menjadi anak-anak yang pintar, berjiwa merdeka, tidak bergantung dan berharap bantuan orang lain. Metode atau sistem among ini tampaknya menjadi ciri khas Tamansiswa, kiranya masih relevan untuk masa sekarang ini. Sebab keseimbangan pelaksanaan hak kebebasan
dan kewajiban dalam metode tersebut merupakan jaminan adanya ketertiban dan kedamaian, serta jauh dari ketegangan dan anarki. Dalam dunia pendidikan anak didik akan tumbuh dan berkembang, seluruh potensi kodratinya sesuai dengan perkembangan alaminya dan wajar tanpa mengalami hambatan dan rintangan. Ajaran Ki Hadjar Dewantara ini memberi kebebasan anak didik, yang diharapkan anak didik akan tumbuh kemampuannya berinisiatif serta kreatif untuk mewujudkan eksistensi manusia.
Ajaran Ki Hadjar Dewantara selain sistem atau metode among, yakni sistem paguron . Sistem  paguron  ini dinilai mempunyai kecocokan dengan kepribadian di Indonesia. Dalam perkembangannya kita melihat implementasinya melalui system pendidikan pesantren atau pendidikan asrama.  endidiikan system paguron. Sistem paguron atau pawiyatan yang digagas beliau, mewujudkan rumah guru atau pamong sebagai tempat yang dikunjungi anak didik. Anak didik itulah yang dititipkan orang tuanya agar memperoleh pendidikan lanjutan yang terarah, terprogram, terkonsep, untuk jenjang kedewasaan yang lebih baik.
Sistem paguron ini memiliki perbebedaan dengan sistem sekolah. Pada sistem paguron, guru dan anak didik berada pada lokasi yang sama dalam kehidupan sehari-hari, baik saat di sekolah maupun ketika melakukan interaksi setiap harinya, siang, pagi, malam dan berlangsung berbulan-bulan. Sedangkan pada sistem sekolah, guru dan anak didik sama-sama datang ke tempat pendidikan dalam waktu kurun tertentu, kemudian kembali ke tempat mereka masing-masing. Sehingga sistem sekolah sifatnya hanya sesaat. Efek paguron lebih baik, karena antara guru dan anak didik terjadi transformasi kehidupan yang menyentuh, integral, dan sangat efektif. Di dalam paguron dibutuhkan para pendidik yang selain memahami ilmu pengetahuan juga memiliki kepribadian, baik tingkah lakunya, tutur katanya, sehingga menjadi cermin dan panutan. Dengan demikian, anak didik akan mewarisi nilai-nilai kepribadian sang guru.
2. Tringa; Ngerti-Ngrasa-Ngalokoni
Lickona (1991) dalam bukunya Educating for Character, menekankan pentingnya diperhatikan tiga komponen karakter yang baik yakni pengetahuan tentang moral(moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling) dan tindakan moral (moral action). Unsur pengertian moral adalah kesadaran moral, pengertian akan nilai, kemampuan untuk mengambil gagasan orang lain, rasionalitas moral (alasan mengapa harus melakukan hal itu), pengambilan tentang keputusan berdasarkan nilai moral, dan pengertian mendalam tentang dirinya sendiri. Segi pengertian atau kognitif ini cukup jelas dapat dikembangkan dalam pendalaman bersama di kelas maupun masukan orang lain. Dari segi kognitif ini, siswa dibantu untuk mengerti apa isi nilai yang digeluti dan mengapa nilai itu harus dilakukan dalam hidup mereka.
Dengan demikian siswa sungguh mengerti apa yang akan dilakukan dan sadar akan apa yang dilakukan. Unsur perasaan moral meliputi suara hati (kesadaran akan yang baik dan tidak baik), harga diri seseorang, sikap empati terhadap orang lain, perasaan mencintai kebaikan, kontrol diri, dan rendah hati.  Perasaan moral ini sangat mempengaruhi seseorang untuk mudah atau sulit bertindak baik atau jahat; maka perlu mendapat perhatian. Dalam pendidikan nilai, segi perasaan moral ini perlu mendapat tempatnya. Siswa dibantu untuk menjadi lebih tertarik dan merasakan bahwa nilai itu sungguh baik dan perlu dilakukan. Unsur tindakan moral adalah kompetensi (kemampuan untuk mengaplikasikan
keputusan dan perasaan moral dalam tindakan konkret), kemauan, dan kebiasaan. Tanpa kemauan kuat, meski orang sudah tahu tentang tindakan baik yang harus dilakukan, ia tidak akan melakukaknnya. Dalam pendidikan karakter, kemampuan untuk melaksanakan dalam tindakan nyata, disertai kemauan dan kebiasaan melakukan moral harus dimunculkan dan ditingkatkan. Dengan demikian tampak jelas bahwa pendidikan karakter diperlukan ketiga unsur pengertian, perasaan, dan tindakan harus ada. Pendidikan karakter yang terlalu fokus pada pengembangan kognitif tingkat rendah, perlu dilengkapi dengan pengembangan kognitif tingkat tinggi sampai subjek didik memiliki keterampilan membuat keputusan moral yang tepat secara mandiri, memiliki komitmen yang tinggi untuk bertindak selaras dengan keputusan moral tersebut, dan memiliki kebiasaan (habit) untuk melakukan tindakan bermoral.
Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Salah satu nilai luhur bangsa Indonesia yang merupakan falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan yakni  tringa  yang meliputi  ngerti, ngrasa,  dan  nglakoni . Ki Hadjar mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya.
Merasa saja dengan tidak pengertian dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil. Sebab itu prasyarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita, ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi
dirinya dan bagi masyarakat, dan harus mengamalkan perjuangan itu. “Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah”, “Ngelmu tanpa laku kothong”, laku tanpa ngelmu cupet”. Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang. Oleh sebab itu, agar tidak kosong ilmu harus dengan perbuatan, agar tidak pincang perbuatan harus dengan ilmu.
“Ki Hajar Dewantara” Pahlawan Pendidikan yang mulai dilupakan !
Tiga puluh enam tahun yang lalu, tepatnya tahun 1976, saya memulai sekolah di Taman Muda ( Sekolah SD di Tamansiswa), 5 tahun setelah itu masuk di Taman Dewasa ( Sekolah SMP di Tamansiswa) . Tahun 1988 saya mulai menjadi guru di Taman Dewasa ( SMP Tamansiswa ) Cibadak sampai dengan tahun 2005. Sejak itu saya diangkat jadi PNS dan sekarang mengajar di SMP Negeri 3 Cibadak. Sebuah perjalanan pendidikan yang tak bisa di lepaskan dari sosok seorang Soewardi Suryaningrat ( lebih terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara), Bapak Pendidikan kita semua, yang tanggal kelahirannya, 2 Mei di peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hajar Dewantara terkenal dengan ajarannya Sistem Among ( Tutwuri handayani, Ing Madya mangun karsa, Ing ngarsa sung tulada)  di Tamansiswa, ialah suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan 1) Kodrat Alam, sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepatcepatnya dan sebaik-baiknya; 2) Kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir batin anak, agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta bertindak merdeka. Sistem tersebut menurut cara berlakunya, juga disebut sistem Tutwuri Handayani.
Apa yang terjadi sekarang ini? Dunia pendidikan di hebohkan dengan tawuran antar pelajar mulai dari anak-anak SMP, SMA/SMK sampai perguruan tinggi, hampir setiap hari menghiasi surat kabar dan Televisi. Para guru rame mencari metode dan model pengajaran yang relevan dengan era dan jaman yang serba di gital. Mereka lupa, bahwa kita punya seorang pahlawan pendidikan yang harus nya jadi tauladan dan panutan para siswa dan pendidik di negeri ini. Kita kehilangan karakter dan kepribadian bangsa. Erosi sikap dan perilaku sudah menjalar di setiap aktifitas para siswa dan guru.
Kilas balik Sang Pahlawan Pendidikan Nasional kita. Beliau di lahirkan pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah sistem Among yang terdiri dari  tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di 
Kiprah dan perjuangan beliau patut jadi panutan dan motivasi buat kita.  Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi .

Beliau mendirikan Perguruan Tamansiswa pada tahun 1922, dimana pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu 1) Kodrat Alam; 2) Kemerdekaan; 3) Kebudayaan; 4) Kebangsaan; 5) Kemanusian,  yang berdasarkan Pancasila.


Buah pikiran beliau tersimpan di  Museum Dewantara Kirti Griya Yogyakarta (di Pusat Perguruan Tamansiswa Yogyakarta). Museum ini di bangun untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Apakah kita pernah kesana? Tak sedikit diantara kita yang belum pernah ataupun tak tahu sama sekali. Inilah kondisi kita sekarang ini.
” Album Kenangan Saya saat berkunjung  Ke Majelis Luhur Tamansiswa dan Museum Dewantara “
JAS MERAH” JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH . Ya…inilah seharusnya selaku warga dari bangsa yang besar jangan sekali-kali melupan sejarah. Kita bisa hidup nyaman, mencari ilmu setinggi-tingginya, berekspresi di manapun,  salah satunya di kompasiana ini, tentu salah satunya adalah berkat jasa Beliau, sang Pahlawan Pendidikan Nusantara kita yang mulai di lupakan.
” Ki Hajar Dewantara” pantas rasanya kita kedepankan di era sekarang ini. Era yang serba syarat konplik. penuh dengan demo-demo, kreatifitas yang kebablasan, karakter bangsa yang mulai luntur, kepribadian yang semakin sirna dari akhlaqurkarimah, dan ego yang tinggi untuk menyelesaikam masalah semau dan seenaknya tanpa memikirkan orang lain.
Prihatin rasanya kita sebagai bangsa yang besar, yang pahlawan kebangsaannya cukup disegani di seluruh dunia, tapi mulai melupakan para pahlawannya begitu saja hanya karena memikirkan sesuatu yang tak jelas.
Pahlawan Nusantara ini lah yang menurut saya yang perlu di kedapankan dengan alasan :
1) Saya di ajari, didik dan di latih di Tamansiswa, setidaknya paham dan mengetahui bagaimana ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara yang masih relevan dan tak usang di makan waktu, seperti sistem Among ( Tutwuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarso Sung Tulodo)  yang di gunakan untuk mengajar, mendidik, dan melatih para siswa.
2) Ajaran beliau tentang budi pekerti setidaknya diperlukan sekali di jaman dan era tawuran di kalangan pelajar sekarang ini.
3) Perguruan Tamansiswa menyebut gurunya dengan Pamong, yang berarti harus ngemong dan mengawasi peserta didik setidaknya selama 24 jam, sehingga peserta didik akan terawasi dan terjaga dari hal-hal yang negatif
4) Beliau ( Ki Hajat Dewantara) adalah tokoh kebangsaan yang sepak terjangnya dalam dunia pendidikan di akui secara nasional dan internasional.
5) Jiwa jurnalis, wartawan, aktif di organisasi sosial dan politik,  serta jiwa kebangsaannya tak perlu di ragukan lagi. Dengan tulisannya “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”) yang isinya cukup pedas sekali di kalangan Hindia Belanda pada waktu itu.
 “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlanderdiharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.
6) Jika kita mau menggali dan berjiwa kebangsaan, guru profesional itu sebenarnya adalah guru yang menjalankan ajaran Ki Hajar  Dewantara. Ki Hadjar Dewantara merangkum konsep yang dikenal dengan istilah Among Methode atau sistem among. AMONG mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana “among” (momong) disebut PAMONG, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong. Guru atau dosen di Tamansiswa disebut pamong yang bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem among membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya.
Sistem among mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan karena itu akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Kini orang banyak melihat tayangan kekerasan, misalnya saja film anak “Tom & Jery” yang melaksanakan hukuman kepada sesama dengan meledakkan dinamit. Hal ini tidak sesuai dengan pendidikan anak bila kita ingat sifat kodrati anak “nonton, niteni, niroke”. Sinetron tertentu ada yang dengan lugas melampiaskan kekerasan dan dendam. Sebaiknya orang tua mencermati, mengarahkan dan memilih tayangan TV di rumahnya. Sistem Among dilaksanakan secara “tut wuri handayani” dimana kita dapat “menemukenali” anak, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap dilaksanakan dengan kasih sayang. (sumber: www.tamansiswa.org)
7) Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para Pahlawannya. Kenapa kita tidak menghargai Ki Hajar Dewantara bapak pendidikan Nasional kita mulai sekarang ini ?
Demikian, Pahlawan Nusantara buat daerahku berdasarkan pemikiran dan realita yang ada sekarang ini !

(Arti dari Ajaran Ki Hajar Dewantara – Tutwuri Handayani) – Salah satu Ajaran dari Ki Hajar Dewantarayang sangat populer adalah “Seorang pemimpin harus memiliki tiga sifat yang terangkum pada: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”, dimana ketiga kalimat tersebut memiliki arti sebagai berikut:
1      Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang – orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan.
2      Ing Madyo Mangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat . Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan.
3      Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang – orang disekitar kita menumbuhkan motivasi dan semangat.
Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang – orang disekitarnya dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat . Sehingga kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat.

Ajaran Ki Hajar Dewantara mulai DitinggalkanNusantara
Yogyakarta: Meskipun tanggal lahir Ki Hajar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, tetapi ajarannya mulai ditinggalkan. Konsep pendidikan yang dikembangkannya di Tamansiswa pun kini terpinggirkan.
"Pendikan ajaran Ki Hajar Dewantara tidak berorientasi pada kepentingan global. Pendidikan yang dikembangkan sekarang ini berbeda sekali orientasinya," kata Ketua Majelis Luhur III Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Persatuan Tamansiswa Yogyakarta, Wuryadi.
Pendidikan yang diajarkan pelopor bagi kaum pribumi Indonesia di jaman penjajahan Belanda itu sifatnya mandiri, merdeka dan swadaya. Hal itu sangat cocok untuk dikembangkan untuk pendidikan nasional.

"Prinsip kemerdekaan dalam pengembangan pendidikan adalah counter atas pendidikan penjajahan. Selama pendidikan di Indonesia masih dibayang-bayangi penjajahan maka pemikiran Ki Hajar Dewantara masih relevan dikembangkan. Sekarang ini masalah pendidikan sangat tergantung dari siapa yang memegang kekuasaan,? katanya.

Dalam sejumlah hal, kebijakan nasional dalam hal pendidikan sangat berbeda dengan konsep pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara. Oleh karena itu, Persatuan Tamansiswa Yogyakarta sangat tegas menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

"Kita mengajak seluruh komponen pendidikan di Indonesia untuk mengkaji bersama ajaran Ki Hajar Dewantara untuk menyelesaikan problem pendidikan di tanah air. Sampai sekarang ini pemerintah tidak berminat karena kepentingannya sudah berbeda," katanya.

Saat ini seluruh lembaga pendidikan yang bawah persatuan Tamansiswa masih konsisten mengembangkan konsep pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara. Meskipun mereka masih banyak kendala, terutama persoalan dana.

"Kita tidak punya modal. Kalau kita mandiri dari murid saja tidak bisa hidup. Pada prinsipnuya keberlangsungan pendidikan di Tamansiswa sangat terpengaruh dengan kebijakan nasional dan pendanaan." tambahnya.
Siapakah sebenarnya tokoh pelopor pendidikan bangsa ini?

Siapa sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih, politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas, belum banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.

Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA (sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda !
Ki Hajar Dewantara (1889-1959): Sosok yang Keras tapi Tidak Kasar
Senin, 10 Maret 2008, 4:59 pm

Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara tidak seperti Ivan Illich atau Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah sebagai siksaan yang harus segera dihindari. Ki Hajar berpandangan bahwa melalui pendidikan akan terbentuk kader yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Arah pendidikannya bernafaskan kebangsaan dan berlanggam kebudayaan.

Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. “…bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban menghadiri sekolah”, kata Illich. Demikian pula halnya dengan Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara. Yang kemudian ia sebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.

Ada benarnya ketika setiap pendidikan harus mampu mengarah dan mengubah status quo. Dan ini tidak berarti benar ketika menganggap sekolah tidak penting. Anak-anak dengan senang hati, umumnya masih berangkat ke sana. Kita, dan mereka, tahu; bukan mata pelajaran serta ruang kelas itu yang membikin mereka betah. Melainkan teman dan pertemuan. Bisa saja, Illich dan Tagore keliru. Sekolah juga keliru bila ia tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan.

Namun, banyak kalangan sering menyejajarkan Ki Hajar Dewantara dengan Rabindranath Tagore, seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional India, karena mereka bersahabat dan memang memiliki kesamaan visi dan misi dalam perjuangannya memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan.

Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hajar. Tindakan ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari “strategi” untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi.

Di barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di sini, Ki Hajar Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem among yang ia kembangkan di taman siswa. Ungkapannya sangat terkenal; “tut wuri handayani”, “ing madya mangun karsa”, dan “ing ngarsa sung tulada”. Istilah inipun tak hanya populer di kalangan pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain.


Biografi Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
   
Metrotvnews.com, Yogyakarta: Meskipun tanggal lahir Ki Hajar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, tetapi ajarannya mulai ditinggalkan. Konsep pendidikan yang dikembangkannya di Tamansiswa pun kini terpinggirkan.
“Pendidikan ajaran Ki Hajar Dewantara tidak berorientasi pada kepentingan global. Pendidikan yang dikembangkan sekarang ini berbeda sekali orientasinya,” kata Ketua Majelis Luhur III Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Persatuan Tamansiswa Yogyakarta, Wuryadi.
Pendidikan yang diajarkan pelopor bagi kaum pribumi Indonesia di jaman penjajahan Belanda itu sifatnya mandiri, merdeka dan swadaya. Hal itu sangat cocok untuk dikembangkan untuk pendidikan nasional.
“Prinsip kemerdekaan dalam pengembangan pendidikan adalah counter atas pendidikan penjajahan. Selama pendidikan di Indonesia masih dibayang-bayangi penjajahan maka pemikiran Ki Hajar Dewantara masih relevan dikembangkan. Sekarang ini masalah pendidikan sangat tergantung dari siapa yang memegang kekuasaan,? katanya.
Dalam sejumlah hal, kebijakan nasional dalam hal pendidikan sangat berbeda dengan konsep pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara. Oleh karena itu, Persatuan Tamansiswa Yogyakarta sangat tegas menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
“Kita mengajak seluruh komponen pendidikan di Indonesia untuk mengkaji bersama ajaran Ki Hajar Dewantara untuk menyelesaikan problem pendidikan di tanah air. Sampai sekarang ini pemerintah tidak berminat karena kepentingannya sudah berbeda,” katanya.
Saat ini seluruh lembaga pendidikan yang bawah persatuan Tamansiswa masih konsisten mengembangkan konsep pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara. Meskipun mereka masih banyak kendala, terutama persoalan dana.
“Kita tidak punya modal. Kalau kita mandiri dari murid saja tidak bisa hidup. Pada prinsipnuya keberlangsungan pendidikan di Tamansiswa sangat terpengaruh dengan kebijakan nasional dan pendanaan.” tambahnya.(MI/*)


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar