AJARAN KI HAJAR DEWANTARA
Oleh
Yana
Arti dari Ajaran Ki Hajar
Dewantara –Tut Wuri Handayani – Salah satu Ajaran dari Ki Hajar Dewantara yang sangat populer adalah “Seorang pemimpin
harus memiliki tiga sifat yang terangkum pada: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing
Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, dimana ketiga kalimat tersebut memiliki
arti sebagai berikut:
1
Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan /
dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti
tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin
harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang – orang disekitarnya. Sehingga
yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan.
2. Ing Madyo Mangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mangun berarti
membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau
niat. Jadi makna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus
juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat . Karena itu seseorang juga
harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan
suasana yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan.
3. Tut Wuri Handayani, Tut Wuri
artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral
atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seseorang
harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan
moral ini sangat dibutuhkan oleh orang – orang disekitar kita menumbuhkan
motivasi dan semangat.
Jadi secara tersirat Ing Ngarso
Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang
yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga
harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar
orang – orang disekitarnya dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat .
Sehingga kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat.
Implementasi Ajaran Ki Hajar Dewantara
Dalam Pembelajaran Matematika Untuk Membangun Karakter Siswa
Ki Hajar Dewantoro adalah salah seorang tokoh
pendidikan Nasional yang mendirikan Perguruan Taman Siswa, untuk mendidik
rakyat kecil supaya bisa mandiri, tidak tergantung pada penjajah. Beliau
bercita-cita agar bangsa Indonesia yang akan datang memiliki kepribadian
nasional dan sanggup membangun masyarakat baru yang bermanfaat bagi kehidupan
dan penghidupan bangsa Indonesia. Cara mengajar beliau menerapkan metode
“among”. Among berarti membimbing anak dengan penuh kecintaan dan mendahulukan
kepentingan sang anak. Dengan demikian anak dapat berkembang menurut kodratnya.
Hubungan murid dan pamong seperti keluarga. Cara mengajar dan mendidik dengan
menggunakan “metode Among” dengan semboyan Tut Wuri Handayani artinya mendorong
para anak didik untuk membiasakan diri mencari dan belajar sendiri. Mengemong
(anak) berarti membimbing, memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauannya.
Guru atau pamong mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, bertugas
mengamat amati dengan segala perhatian, pertolongan diberikan apabila dipandang
perlu. Anak didik dibiasakan bergantung pada disiplin kebatinannya sendiri,
bukan karena paksaan dari luar atau perintah orang lain. Seperti prinsip Ki
Hadjar Dewantara bahwa kita tidak perlu segan-segan memasukkan bahan- bahan dan
kebudayaan asing, dari manapun asalnya, tetapi harus diingat bahwa dengan bahan
itu kita dapat menaikkan derajad hidup kita dengan jalan mengembangkan apa yang
sudah menjadi milik kita, memperkaya apa yang belum kita miliki (Soeratman,
1985: 46). Dengan menerapkan ajaran Ki Hajar Dewantoro dalam pembelajaran
matematika, diharapkan pembelajaran matematika akan lebih menarik dan tidak
lepas dari budaya Indonesia. Guru bisa menanamkan budaya asli Indonesia,
membentuk anak didik menjadi manusia yang tangguh dalam menyelesaikan masalah,
taat asas, mandiri dan bisa menghargai orang lain. Matematika merupakan salah
satu mata pelajaran mempunyai andil yang cukup besar dalam mempersiapkan anak
didik. Salah satu tujuan diberikannya mata pelajaran matematika seperti yang
tercantum pada kurikulum adalah siswa dapat memiliki kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan
bekerjasama, memungkinkan untuk diberi muatan nilai- nilai untuk dapat
membangun karakter siswa. Tulisan ini bertujuan untuk mengimplementasikan
ajaran Ki Hajar Dewantoro dalam pembelajaran Matematika sehingga terbentuk
sumber daya manusia yang berkompeten dan berkarakter, sesuai dengan nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia Kata kunci: Ajaran Ki Hajar Dewantoro, Metode Among,
Pembelajaran matematika, Penanaman Nilai
Konsep
Pendidikan Menurut Ajaran Ki Hadjar Dewantara
Dalam dunia pendidikan, sosok Ki Hadjar
Dewatara sebagai Bapak pendidikan bangsaIndonesia ini banyak
mengajarkan berbagai hal yang sangat terkenal di bidang pendidikan. Konsep
pendidikan nasional yang dikemukakan sangat membumi dan berakar pada budaya
nusantara, antara lain tutwuri handayani, “tripusat” pendidikan (keluarga, sekolah,
masyarakat), tringgo (ngerti, ngroso, nglakoni) (Tauchid, 2004).
1.
Sistem Among, Tutwuri Handayani
Kata among itu sendiri berasal dari bahasa Jawa, mempunyai makna seseorang yang
bertugas ngemong dan jiwanya penuh pengabdian. Sistem among sudah dikenal cukup
lama di lingkungan Tamansiswa. Sistem among merupakan suatu cara mendidik yang
diterapkan dengan maksud mewajibkan kodrat alam anak-anak didiknya. Cara
mendidik yang harus diterapkan adalah menyokong atau memberi tuntunan dan
menyokong anak-anak tumbuh dan berkembang atas kodratnya sendiri. Sistem among
ini meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri
dan berguna bagi masyarakat. Pengajaran bagi Tamansiswa berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka
batinnya, merdeka pikirannya, merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi
pengetahuan yang baik dan perlu saja, akan tetapi harus juga mendidik murid agar dapat mencari sendiri
pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik
dan perlu itu yang bermanfaat untuk keperluan lahir batin dalam hidup bersama.
Tiap-tiap guru, dalam pola pikir Ki Hadjar Dewantara adalah
abdi sang anak, abdi murid, bukan penguasa atas
jiwa anak-anak (Sudarto, 2008).
Di lingkungan Tamansiswa sebutan guru
tidak digunakan dan diganti dengan sebutan pamong. Hubungan antara pamong dan siswa, harus
dilandasi cinta kasih, saling percaya, jauh dari sifat otoriter dan situasi
yang memanjakan. Dalam konsep ini, siswa bukan hanya objek, tetapi juga dalam
kurun waktu yang bersamaan sekaligus menjadi subjek. Ki Hadjar Dewantara
menjadikan tutwuri handayani sebagai semboyan metode among. Sudarto (2008)
mengutip pendapat Ki Soeratman yang menyatakan bahwa sikap tutwuri merupakan
perilaku pamong yang sifatnya memberi kebebasan kepada siswa untuk berbuat
sesuatu sesuai dengan hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai
dengan norma-norma yang wajar dan tidak merugikan siapa pun.Tetapi kalau
pelaksanaan kebebasan siswa itu ternyata menyimpang dari ketentuan yang
seharusnya, seperti melanggar peraturan atau hukum masyarakat hingga merugikan
pihak lain atau diri sendiri,
pamong harus bersikap handayani , yakni mempengaruhi dengan daya
kekuatannya, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan, apabila kebebasan yang
diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri.
Jadi, tutwuri memberi kebebasan pada siswa
untuk berbuat sekehendak hatinya, namun jika kebebasan itu akan menimbulkan
kerugian pamong harus memberi peringatan. Handayani merupakan sikap yang harus
ditaat oleh siswa hingga menimbulkan ketertundukan. Dengan demikian, sebagai
subjek siswa memiliki kebebasan, sebagai objek siswa memiliki ketertundukan
sebagai kewajibannya.
Ki Hadjar memberi kias sistem among dengan
gambaran bahwa guru terhadap murid harus berpikir, berperasaan dan bersikap
sebagai Juru Tani terhadap tanaman peliharaannya, bukannya tanaman ditaklukan
oleh kemauan dan keinginan Juru Tani. Juru Tani menyerahkan dan mengabdikan
dirinya pada kepentingan kesuburan tanamannya itu. Kesuburan tanaman inilah
yang menjadi kepentingan Juru Tani. Juru Tani tidak bisa mengubah sifat dan
jenis tanaman menjadi tanaman jenis lain yang berbeda dasar sifatnya. Dia hanya
bisa memperbaiki dan memperindah jenis dan usaha-usaha yang mendorong perbaikan
perkembangan jenis itu. Juru Tani tidak bisa memaksa tanaman padi mempercepat
buahnya supaya lekas masak menurut kemauannya karena kepentingan yang mendesak,
tapi semua itu harus diikuti dengan kesabaran. Oleh sebab itu, Juru Tani harus
tani harus tahu akan sifat dan watak serta jenis tanaman, perbedaan antara padi
dan jagung, serta tanaman-tanaman lainnya dalam keperluan masing-masing agar
tumbuh berkembang dengan subur dan hasil yang baik. Juru Tani harus faham akan
ilmu mengasuh tanaman, untuk dapat bercocok tanam dengan baik, agar dapat
menghasilkan tanaman yang subur dan buah yang baik.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, Juru Tani
tidak boleh membeda-bedakan dari mana asalnya pupuk, asal alat kelengkapan atau
asalnya ilmu pengetahuan dan sebagainya. Namun, harus dimanfaatkan segala yang
menyuburkan tanaman menurut kodrat alam. Pamong harus punya karakter seperti
Juru Tani ini, tidak membeda-bedakan anak didik, tetapi berusaha menciptakan
agar anak-anak didiknya itu tumbuh menjadi anak-anak yang pintar, berjiwa
merdeka, tidak bergantung dan berharap bantuan orang lain. Metode atau sistem
among ini tampaknya menjadi ciri khas Tamansiswa, kiranya masih relevan untuk
masa sekarang ini. Sebab keseimbangan pelaksanaan hak kebebasan
dan kewajiban dalam metode tersebut merupakan jaminan adanya ketertiban dan
kedamaian, serta jauh dari ketegangan dan anarki. Dalam dunia pendidikan anak
didik akan tumbuh dan berkembang, seluruh potensi kodratinya sesuai dengan
perkembangan alaminya dan wajar tanpa mengalami hambatan dan rintangan. Ajaran
Ki Hadjar Dewantara ini memberi kebebasan anak didik, yang diharapkan anak
didik akan tumbuh kemampuannya berinisiatif serta kreatif untuk mewujudkan
eksistensi manusia.
Ajaran Ki Hadjar Dewantara selain sistem
atau metode among, yakni sistem paguron . Sistem paguron
ini dinilai mempunyai kecocokan dengan kepribadian di Indonesia. Dalam
perkembangannya kita melihat implementasinya melalui system pendidikan
pesantren atau pendidikan asrama.
endidiikan system paguron. Sistem paguron atau pawiyatan yang digagas
beliau, mewujudkan rumah guru atau pamong sebagai tempat yang dikunjungi anak
didik. Anak didik itulah yang
dititipkan orang tuanya agar memperoleh pendidikan lanjutan yang terarah,
terprogram, terkonsep, untuk jenjang kedewasaan yang lebih baik.
Sistem paguron ini memiliki perbebedaan
dengan sistem sekolah. Pada sistem paguron, guru dan anak didik berada pada
lokasi yang sama dalam kehidupan sehari-hari, baik saat di sekolah maupun
ketika melakukan interaksi setiap harinya, siang, pagi, malam dan berlangsung
berbulan-bulan. Sedangkan pada sistem sekolah, guru dan anak didik sama-sama
datang ke tempat pendidikan dalam waktu kurun tertentu, kemudian kembali ke
tempat mereka masing-masing. Sehingga sistem sekolah sifatnya hanya sesaat.
Efek paguron lebih baik, karena antara guru dan anak didik terjadi transformasi
kehidupan yang menyentuh, integral, dan sangat efektif. Di dalam paguron
dibutuhkan para pendidik yang selain memahami ilmu pengetahuan juga memiliki
kepribadian, baik tingkah lakunya, tutur katanya, sehingga menjadi cermin dan
panutan. Dengan demikian, anak didik akan mewarisi nilai-nilai kepribadian sang
guru.
2. Tringa; Ngerti-Ngrasa-Ngalokoni
Lickona (1991) dalam bukunya Educating for Character, menekankan pentingnya
diperhatikan tiga komponen karakter yang baik yakni pengetahuan tentang moral(moral knowing), perasaan tentang
moral (moral feeling) dan tindakan moral (moral action). Unsur pengertian moral
adalah kesadaran moral, pengertian akan nilai, kemampuan untuk mengambil
gagasan orang lain, rasionalitas moral (alasan mengapa harus melakukan hal
itu), pengambilan tentang keputusan berdasarkan nilai moral, dan pengertian
mendalam tentang dirinya sendiri. Segi
pengertian atau kognitif ini cukup jelas dapat dikembangkan dalam pendalaman
bersama di kelas maupun masukan orang lain. Dari segi kognitif ini,
siswa dibantu untuk mengerti apa isi nilai yang digeluti dan mengapa nilai itu
harus dilakukan dalam hidup mereka.
Dengan demikian siswa sungguh mengerti apa
yang akan dilakukan dan sadar akan apa yang dilakukan. Unsur perasaan moral
meliputi suara hati (kesadaran akan yang baik dan tidak baik), harga diri
seseorang, sikap empati terhadap orang lain, perasaan mencintai kebaikan,
kontrol diri, dan rendah hati. Perasaan
moral ini sangat mempengaruhi seseorang untuk mudah atau sulit bertindak baik
atau jahat; maka perlu mendapat perhatian. Dalam pendidikan nilai, segi
perasaan moral ini perlu mendapat tempatnya. Siswa dibantu untuk menjadi lebih
tertarik dan merasakan bahwa nilai itu sungguh baik dan perlu dilakukan. Unsur
tindakan moral adalah kompetensi (kemampuan untuk mengaplikasikan
keputusan dan perasaan moral dalam tindakan konkret), kemauan, dan kebiasaan.
Tanpa kemauan kuat, meski orang sudah tahu tentang tindakan baik yang harus
dilakukan, ia tidak akan melakukaknnya. Dalam pendidikan karakter, kemampuan
untuk melaksanakan dalam tindakan nyata, disertai kemauan dan kebiasaan
melakukan moral harus dimunculkan dan ditingkatkan. Dengan demikian tampak
jelas bahwa pendidikan karakter diperlukan ketiga unsur pengertian, perasaan,
dan tindakan harus ada. Pendidikan karakter yang terlalu fokus pada
pengembangan kognitif tingkat rendah, perlu dilengkapi dengan pengembangan
kognitif tingkat tinggi sampai subjek didik memiliki keterampilan membuat
keputusan moral yang tepat secara mandiri, memiliki komitmen yang tinggi untuk
bertindak selaras dengan keputusan moral tersebut, dan memiliki kebiasaan
(habit) untuk melakukan tindakan bermoral.
Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai
daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras
dengan alam dan masyarakatnya. Salah satu nilai luhur bangsa Indonesia yang
merupakan falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan
yakni tringa yang meliputi
ngerti, ngrasa, dan nglakoni . Ki Hadjar mengingatkan, bahwa
terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan
pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja
tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak
melaksanakan dan tidak memperjuangkannya.
Merasa saja dengan tidak pengertian dan
tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan
membawa hasil. Sebab itu prasyarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita, ia
harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar
akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi
dirinya dan bagi masyarakat, dan harus mengamalkan perjuangan itu. “Ilmu tanpa
amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah”, “Ngelmu tanpa laku kothong”, laku
tanpa ngelmu cupet”. Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu
pincang. Oleh sebab itu, agar tidak kosong ilmu harus dengan perbuatan, agar
tidak pincang perbuatan harus dengan ilmu.
“Ki Hajar
Dewantara” Pahlawan Pendidikan yang mulai dilupakan !
Tiga puluh enam tahun yang lalu, tepatnya
tahun 1976, saya memulai sekolah di Taman Muda ( Sekolah SD di Tamansiswa), 5
tahun setelah itu masuk di Taman Dewasa ( Sekolah SMP di Tamansiswa) . Tahun
1988 saya mulai menjadi guru di Taman Dewasa ( SMP Tamansiswa ) Cibadak sampai
dengan tahun 2005. Sejak itu saya diangkat jadi PNS dan sekarang mengajar di
SMP Negeri 3 Cibadak. Sebuah perjalanan pendidikan yang tak bisa di lepaskan
dari sosok seorang Soewardi Suryaningrat ( lebih terkenal dengan nama Ki Hajar
Dewantara), Bapak Pendidikan kita semua, yang tanggal kelahirannya, 2 Mei di
peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hajar Dewantara terkenal dengan
ajarannya Sistem Among ( Tutwuri
handayani, Ing Madya mangun karsa, Ing ngarsa sung tulada) di Tamansiswa, ialah suatu sistem pendidikan
yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan 1) Kodrat Alam, sebagai syarat untuk
mencapai kemajuan dengan secepatcepatnya dan sebaik-baiknya; 2) Kemerdekaan,
sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir batin anak,
agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta bertindak
merdeka. Sistem tersebut menurut cara berlakunya, juga disebut sistem Tutwuri
Handayani.
Apa yang terjadi sekarang ini? Dunia
pendidikan di hebohkan dengan tawuran antar pelajar mulai dari anak-anak SMP,
SMA/SMK sampai perguruan tinggi, hampir setiap hari menghiasi surat kabar dan
Televisi. Para guru rame mencari metode dan model pengajaran yang relevan
dengan era dan jaman yang serba di gital. Mereka lupa, bahwa kita punya seorang
pahlawan pendidikan yang harus nya jadi tauladan dan panutan para siswa dan
pendidik di negeri ini. Kita kehilangan karakter dan kepribadian bangsa. Erosi
sikap dan perilaku sudah menjalar di setiap aktifitas para siswa dan guru.
Kilas balik Sang Pahlawan Pendidikan
Nasional kita. Beliau di lahirkan pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya,
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah
sistem Among yang terdiri dari tut wuri
handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah
menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi
teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan
di
Kiprah dan perjuangan beliau patut jadi
panutan dan motivasi buat kita. Bangsa
ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan
bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya,
adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi .
Beliau mendirikan Perguruan Tamansiswa
pada tahun 1922, dimana pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu 1)
Kodrat Alam; 2) Kemerdekaan; 3) Kebudayaan; 4) Kebangsaan; 5) Kemanusian, yang berdasarkan
Pancasila.
Buah
pikiran beliau tersimpan di Museum
Dewantara Kirti Griya Yogyakarta (di Pusat Perguruan Tamansiswa Yogyakarta).
Museum ini di bangun untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki
Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki
Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa.
Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting
serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik,
budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan
dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Apakah kita pernah kesana? Tak
sedikit diantara kita yang belum pernah ataupun tak tahu sama sekali. Inilah
kondisi kita sekarang ini.
” Album Kenangan
Saya saat berkunjung Ke Majelis Luhur
Tamansiswa dan Museum Dewantara “
“JAS
MERAH” JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH . Ya…inilah
seharusnya selaku warga dari bangsa yang besar jangan sekali-kali melupan
sejarah. Kita bisa hidup nyaman, mencari ilmu setinggi-tingginya, berekspresi
di manapun, salah satunya di kompasiana
ini, tentu salah satunya adalah berkat jasa Beliau, sang Pahlawan Pendidikan
Nusantara kita yang mulai di lupakan.
” Ki Hajar Dewantara” pantas rasanya kita
kedepankan di era sekarang ini. Era yang serba syarat konplik. penuh dengan
demo-demo, kreatifitas yang kebablasan, karakter bangsa yang mulai luntur,
kepribadian yang semakin sirna dari akhlaqurkarimah, dan ego yang tinggi untuk menyelesaikam
masalah semau dan seenaknya tanpa memikirkan orang lain.
Prihatin rasanya kita sebagai bangsa yang besar,
yang pahlawan kebangsaannya cukup disegani di seluruh dunia, tapi mulai
melupakan para pahlawannya begitu saja hanya karena memikirkan sesuatu yang tak
jelas.
Pahlawan Nusantara ini lah yang menurut saya yang
perlu di kedapankan dengan alasan :
1) Saya di ajari, didik dan di latih di
Tamansiswa, setidaknya paham dan mengetahui bagaimana ajaran-ajaran Ki Hajar
Dewantara yang masih relevan dan tak usang di makan waktu, seperti sistem Among
( Tutwuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarso Sung Tulodo) yang di gunakan untuk mengajar, mendidik, dan
melatih para siswa.
2) Ajaran beliau tentang budi pekerti
setidaknya diperlukan sekali di jaman dan era tawuran di kalangan pelajar
sekarang ini.
3) Perguruan Tamansiswa menyebut gurunya
dengan Pamong, yang berarti harus ngemong dan mengawasi peserta didik
setidaknya selama 24 jam, sehingga peserta didik akan terawasi dan terjaga dari
hal-hal yang negatif
4) Beliau ( Ki Hajat Dewantara) adalah
tokoh kebangsaan yang sepak terjangnya dalam dunia pendidikan di akui secara
nasional dan internasional.
5) Jiwa jurnalis, wartawan, aktif di
organisasi sosial dan politik, serta
jiwa kebangsaannya tak perlu di ragukan lagi. Dengan tulisannya “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul
asli: “Als ik een Nederlander was”) yang isinya cukup pedas sekali di kalangan
Hindia Belanda pada waktu itu.
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas
sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan
itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan
sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan
batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku
dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlanderdiharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan
yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.
6) Jika kita mau menggali dan berjiwa
kebangsaan, guru profesional itu sebenarnya adalah guru yang menjalankan ajaran
Ki Hajar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara merangkum
konsep yang dikenal dengan istilah Among Methode atau sistem among. AMONG
mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang.
Pelaksana “among” (momong) disebut PAMONG, yang mempunyai kepandaian dan
pengalaman lebih dari yang diamong. Guru atau dosen di Tamansiswa disebut
pamong yang bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem
among membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir
batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani
rohani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya.
Sistem among mengharamkan hukuman disiplin dengan
paksaan/kekerasan karena itu akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Kini orang
banyak melihat tayangan kekerasan, misalnya saja film anak “Tom & Jery”
yang melaksanakan hukuman kepada sesama dengan meledakkan dinamit. Hal ini
tidak sesuai dengan pendidikan anak bila kita ingat sifat kodrati anak “nonton,
niteni, niroke”. Sinetron tertentu ada yang dengan lugas melampiaskan kekerasan
dan dendam. Sebaiknya orang tua mencermati, mengarahkan dan memilih tayangan TV
di rumahnya. Sistem Among dilaksanakan secara “tut wuri handayani” dimana kita dapat “menemukenali” anak, bila
perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap dilaksanakan dengan
kasih sayang. (sumber: www.tamansiswa.org)
7) Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai para Pahlawannya. Kenapa kita tidak menghargai Ki Hajar Dewantara
bapak pendidikan Nasional kita mulai sekarang ini ?
Demikian, Pahlawan Nusantara buat daerahku
berdasarkan pemikiran dan realita yang ada sekarang ini !
(Arti dari Ajaran Ki Hajar Dewantara – Tutwuri Handayani) –
Salah satu Ajaran dari Ki Hajar
Dewantarayang sangat populer adalah “Seorang pemimpin harus memiliki tiga
sifat yang terangkum pada: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut
Wuri Handayani”, dimana ketiga kalimat tersebut memiliki arti sebagai berikut:
1 Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari
kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso
Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan
bagi orang – orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh
seseorang adalah kata suri tauladan.
2 Ing Madyo Mangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mangun berarti
membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau
niat. Jadi makna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus
juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat . Karena itu seseorang juga
harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan
suasana yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan.
3 Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati
memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri
Handayani ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja
dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang – orang
disekitar kita menumbuhkan motivasi dan semangat.
Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun
Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang yang baik adalah disamping
menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat
dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang – orang disekitarnya
dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat . Sehingga kita dapat menjadi
manusia yang bermanfaat di masyarakat.
Ajaran Ki Hajar Dewantara mulai DitinggalkanNusantara
Yogyakarta:
Meskipun tanggal lahir Ki Hajar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan
Nasional, tetapi ajarannya mulai ditinggalkan. Konsep pendidikan yang
dikembangkannya di Tamansiswa pun kini terpinggirkan.
"Pendikan ajaran Ki Hajar Dewantara tidak berorientasi pada kepentingan
global. Pendidikan yang dikembangkan sekarang ini berbeda sekali
orientasinya," kata Ketua Majelis Luhur III Bidang Pendidikan dan
Kebudayaan Persatuan Tamansiswa Yogyakarta, Wuryadi.
Pendidikan yang diajarkan pelopor bagi kaum pribumi Indonesia di jaman
penjajahan Belanda itu sifatnya mandiri, merdeka dan swadaya. Hal itu sangat
cocok untuk dikembangkan untuk pendidikan nasional.
"Prinsip kemerdekaan dalam pengembangan pendidikan adalah counter atas
pendidikan penjajahan. Selama pendidikan di Indonesia masih dibayang-bayangi
penjajahan maka pemikiran Ki Hajar Dewantara masih relevan dikembangkan.
Sekarang ini masalah pendidikan sangat tergantung dari siapa yang memegang
kekuasaan,? katanya.
Dalam sejumlah hal, kebijakan nasional dalam hal pendidikan sangat berbeda
dengan konsep pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara. Oleh karena itu,
Persatuan Tamansiswa Yogyakarta sangat tegas menolak Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan.
"Kita mengajak seluruh komponen pendidikan di Indonesia untuk mengkaji
bersama ajaran Ki Hajar Dewantara untuk menyelesaikan problem pendidikan di
tanah air. Sampai sekarang ini pemerintah tidak berminat karena kepentingannya
sudah berbeda," katanya.
Saat ini seluruh lembaga pendidikan yang bawah persatuan Tamansiswa masih
konsisten mengembangkan konsep pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara.
Meskipun mereka masih banyak kendala, terutama persoalan dana.
"Kita tidak punya modal. Kalau kita mandiri dari murid saja tidak bisa
hidup. Pada prinsipnuya keberlangsungan pendidikan di Tamansiswa sangat terpengaruh
dengan kebijakan nasional dan pendanaan." tambahnya.
Siapakah sebenarnya tokoh pelopor
pendidikan bangsa ini?
Siapa sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih, politisi
handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh
sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis,
sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas, belum banyak orang tahu.
Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga
belum banyak yang tahu.
Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei
1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan
dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) dan setelah
lulus, ia meneruskan ke STOVIA (sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta,
tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa
surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,
Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada
masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi
sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan
mendapat tugas yang cukup menantang di seksi propaganda. Dalam seksi propaganda
ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat
Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam
berbangsa dan bernegara.
Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang
bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan
dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha
didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintahan kolonial Belanda tetapi
ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg
sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah
karena organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda !
Ki Hajar Dewantara (1889-1959):
Sosok yang Keras tapi Tidak Kasar
Senin, 10 Maret 2008, 4:59 pm
Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara tidak seperti Ivan Illich atau
Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah sebagai siksaan yang harus
segera dihindari. Ki Hajar berpandangan bahwa melalui pendidikan akan terbentuk
kader yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan
kemampuan sendiri. Arah pendidikannya bernafaskan kebangsaan dan berlanggam
kebudayaan.
Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari
sekolah. Niat deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa
sekolah tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang
sudah pasti. “…bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban
menghadiri sekolah”, kata Illich. Demikian pula halnya dengan Rabindranath
Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara. Yang kemudian
ia sebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.
Ada benarnya ketika setiap pendidikan harus mampu mengarah dan mengubah status
quo. Dan ini tidak berarti benar ketika menganggap sekolah tidak penting.
Anak-anak dengan senang hati, umumnya masih berangkat ke sana. Kita, dan
mereka, tahu; bukan mata pelajaran serta ruang kelas itu yang membikin mereka
betah. Melainkan teman dan pertemuan. Bisa saja, Illich dan Tagore keliru.
Sekolah juga keliru bila ia tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang
diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak
menjadi perumus masa depan.
Namun, banyak kalangan sering menyejajarkan Ki Hajar Dewantara dengan
Rabindranath Tagore, seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia
yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional India, karena
mereka bersahabat dan memang memiliki kesamaan visi dan misi dalam
perjuangannya memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan.
Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga
atas budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan
(Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam
kasus Amritsar Affair. Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada
rakyat. Begitu juga halnya dengan ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden
Mas) oleh Ki Hajar. Tindakan ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat
dengan rakyat dari segala lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan
sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya
bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari
“strategi” untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika
berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai
maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan
raganya tentu akan semakin tinggi.
Di barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di sini, Ki
Hajar Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem
among yang ia kembangkan di taman siswa. Ungkapannya sangat terkenal; “tut wuri
handayani”, “ing madya mangun karsa”, dan “ing ngarsa sung tulada”. Istilah
inipun tak hanya populer di kalangan pendidikan, tetapi juga pada berbagai
aspek kehidupan lain.
Biografi Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan
nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga
kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun
menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik
secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi
kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar
Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi
tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di
beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong
penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik
sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi
sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo
untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu
itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum
pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan
menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah
karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia
pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus
sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa
Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda
yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan
Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta
perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan
berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een
voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu
Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de
Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan
pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi
juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana
perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan
sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin
itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut
mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya
sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman
internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat
tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang
ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan
diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela
Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk
memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga
terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto
Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan
ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran,
sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan
perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih
kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun
mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini
sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka
mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah
kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah
Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya,
sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di
Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari
nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya
berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan
dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan
pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga
Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan
di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara
bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak
Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan
Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui
surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia
pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara
Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki
Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki
Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa.
Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting
serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik,
budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan
dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu
memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku,
budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta
harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang
terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya
mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa
sungtulada (di depan memberi teladan).
Metrotvnews.com, Yogyakarta: Meskipun tanggal lahir Ki Hajar
Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, tetapi ajarannya mulai
ditinggalkan. Konsep pendidikan yang dikembangkannya di Tamansiswa pun kini
terpinggirkan.
“Pendidikan ajaran Ki Hajar Dewantara tidak berorientasi pada
kepentingan global. Pendidikan yang dikembangkan sekarang ini berbeda sekali
orientasinya,” kata Ketua Majelis Luhur III Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Persatuan Tamansiswa Yogyakarta, Wuryadi.
Pendidikan yang diajarkan pelopor bagi kaum pribumi Indonesia di
jaman penjajahan Belanda itu sifatnya mandiri, merdeka dan swadaya. Hal itu
sangat cocok untuk dikembangkan untuk pendidikan nasional.
“Prinsip kemerdekaan dalam pengembangan pendidikan adalah counter
atas pendidikan penjajahan. Selama pendidikan di Indonesia masih
dibayang-bayangi penjajahan maka pemikiran Ki Hajar Dewantara masih relevan
dikembangkan. Sekarang ini masalah pendidikan sangat tergantung dari siapa yang
memegang kekuasaan,? katanya.
Dalam sejumlah hal, kebijakan nasional dalam hal pendidikan sangat
berbeda dengan konsep pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara. Oleh
karena itu, Persatuan Tamansiswa Yogyakarta sangat tegas menolak Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan.
“Kita mengajak seluruh komponen pendidikan di Indonesia untuk
mengkaji bersama ajaran Ki Hajar Dewantara untuk menyelesaikan problem
pendidikan di tanah air. Sampai sekarang ini pemerintah tidak berminat karena
kepentingannya sudah berbeda,” katanya.
Saat ini seluruh lembaga pendidikan yang bawah persatuan
Tamansiswa masih konsisten mengembangkan konsep pendidikan yang diajarkan Ki
Hajar Dewantara. Meskipun mereka masih banyak kendala, terutama persoalan dana.
“Kita tidak punya modal. Kalau kita mandiri dari murid saja tidak
bisa hidup. Pada prinsipnuya keberlangsungan pendidikan di Tamansiswa sangat
terpengaruh dengan kebijakan nasional dan pendanaan.” tambahnya.(MI/*)